Lensatv.com|Jakarta, – Pemerintahan RI kembali mengambil langkah tegas dalam upaya percepatan hilirisasi tambang. Dalam pernyataan resmi Selasa (21/12), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pelarangan ekspor bijih bauksit akan dimulai pada Juni 2023.
Sebelumnya pemerintah RI juga telah mengumumkan aturan serupa terkait pelarangan ekspor bijih nikel yang disebut Presiden Jokowi sukses besar. Jokowi mengklaim pendapatan negara melalui ekspor nikel yang sudah dihilirisasi melejit hingga US$ 30 miliar dari yang sebelumnya hanya US$ 1,1 miliar.
Kesuksesan tersebut menjadi lampu hijau bari pemerintah untuk kembali menerapkan aturan serupa untuk komoditas lainnya. Jokowi menyebut alasan utama penerapan kebijakan tersebut adalah supaya industri di dalam negeri bisa mengembangkan hilirisasi bauksit.
Senada dengan yang terjadi dalam upaya hilirisasi nikel, Presiden juga membeberkan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak pada meningkatnya penerimaan negara yang diperkirakan naik dari Rp 21 triliun menjadi sekitar kurang lebih Rp 62 triliun.
Lalu siapa saja pemain utama di industri hulu dan hilir komoditas bauksit Tanah Air. Berikut adalah daftar sejumlah konglomerat utama yang memiliki bisnis atau eksposur pada industri nikel.
Harita Group – Cita Mineral Investindo (CITA)
Cita Mineral Investindo (CITA) merupakan salah satu pemain besar di sektor pertambangan bauksit. Perusahaan publik ini mayoritas sahamnya dimiliki oleh Grup Harita yang juga bertindak sebagai pengendali. Selain Harita, konglomerat tambang raksasa Glencore juga menjadi pemegang saham utama dengan kepemilikan 31,68%.
CITA sendiri mulanya berdiri pada tahun 1992 sebagai perusahaan furniture dan sejak 2005 mendiversifikasi bisnisnya ke bidang usaha pertambangan bauksit. Dari hulu, unit usaha tambang bauksit dilakukan melalui PT Harita Prima Abadi Mineral dan PT Karya Utama Tambangjaya. Sedangkan untuk industri hilir perusahaan juga memiliki pabrik pengolahan smelter grade alumina (SGA) PT Well Harvest Winning Alumina Refinery dengan kepemilikan 30%.
Mengutip data laporan tahunan perusahaan, CITA diketahui memiliki total cadangan 144,5 juta bauksit tercuci (washed) dengan sumber daya mencapai 334,2 juta.
Sepanjang tahun 2021, perusahaan memproduksi 8,59 juta ton (wmt) bauksit tercuci, turun dari catatan tahun sebelumnya yang mencapai 11 juta ton. Tahun lalu perusahaan mengekspor 7,29 juta ton (dmt) bauksit dengan harga jual rata-rata US$ 37,99/wmt dan 1,12 juta dijual dalam negeri.
Hingga semester pertama tahun ini, CITA mencatatkan pendapatan Rp 2,65 triliun dengan laba bersih seebesar Rp 431,5 miliar.
Lim Hariyanto Wijaya Sarwono yang merupakan pemilik manfaat terakhir perusahaan, memperoleh kekayaannya dari bisnis tambang, termasuk operasi tambang bauksit oleh CITA. Tahun ini kekayaannya meningkat US$ 100 juta menjadi US$ 1,1 miliar dan naik 5 peringkat ke posisi 36 dalam daftar orang terkaya RI.
Selain kedua perusahaan tersebut, tidak terdapat lagi konglomerasi bisnis raksasa lain yang memiliki fokus kuat di sektor pertambangan bauksit. Meski demikian sejumlah perusahaan tambang sudah mulai melakukan upaya diversifikasi bisnis ke sektor bauksit, seperti yang dilakukan oleh Indika Energy (INDY) dan Adaro Energy Indonesia (ADRO).
Akhir September tahun ini, INDY melalui anak usahanya, PT Indika Mineral Investindo (IMI) telah menuntaskan akuisisi 100% saham PT Perkasa Investama Mineral (PIM).
PIM sendiri memiliki dua anak perusahaan, yaitu PT Mekko Metal Mining yang bergerak di bidang usaha pertambangan bijih bauksit dan PT Perkasa Alumina Indonesia yang bergerak di bidang usaha industri pembuatan logam dasar bukan besi (smelter).
Sementara itu, ADRO sejak tahun lalu telah mengungkapkan rencana berencana pembangunan smelter aluminium di Kawasan Industri Hijau Indonesia. Nilai investasi pembangunan smelter ini diperkirakan akan mencapai US$ 728 juta atau kisaran Rp 11,28 triliun (asumsi kurs Rp 15.00/US$) dan diproyeksikan baru akan selesai dua tahun ke depan.
REDAKSI